Pukul 05.45 wita
Saya :
“kakak Atta bangun, sholat subuh..”
Kakak Atta :
“aaahhhhh... sebentar lagi... masih ngantuk ma...”
Batin Saya : (issshhhh..
giliran diminta tidur siang, susahnya minta ampun. Eeee.. giliran diminta
bangun tidur, susahnya sama aja. Aaaarrrgggg.. tidakkk).
Pukul 06.00 wita
Ngecek ke kamar
kembali dengan tangan “dingin” alias dibasahi air, berharap sejuknya bisa bikin
kakak Atta bangun dalam sekejap.
Saya :
“Ayo bangun, sudah jam 6” sambil mengusap muka nya dengan telapak tangan.
Kakak Atta :“aaaaah...
“ menjawab dengan seperempat hati sambil memasang wajah tak beraturan.
Batin Saya : (Kem
On boy, buruan banguuuun. Mama harus bla....bla...bla... Kenapa juga kemarin
siang bla...bla..bla...).
Aaaarrrggghhh...apa
daya, saya yang katanya lulusan jurusan yang mampu memahami proses kejiwaan ini
entah beneran sudah lulus apa belum mata kuliah perkembangan. Jangan-jangan
waktu itu enggak sibuk nyimak materi, tapi sibuk ngerumpi kanan kiri (hikss...
#noted ya adik-adik calon ibu sekalian, jangan pernah ditiru. Menyesal kemudian,
tak berarti).
Ini hanyalah scene
take 1 di pagi hari moms.. Masih akan muncul take selanjutnya jika “adegan yang
diharapkan” tak kunjung terlaksana. Bisa jadi muncul rentetan drama berbagai
genre jika semua tidak berjalan “on the track”. For example, tetiba lil
princess Hana (3,5 month) terbangun saat sedang memandikan kakak Hafizh (5
years), atau tetiba Hafizh hanya akan mau makan sarapannya jika saya yang
menyuapi. Kemudian saat bad mood kakak Faqih muncul, atau pada saat... saat...
saat.. dan segala jenis situasi yang bisa menjadi script drama haru biru di pagi
hari. (eeeaaaa, fans nya drama korea niih).
Baiklah, saya
yang telah ikut beberapa kali kelas parenting, aneka rupa grup media sosial
parenting (demi untuk terus menambah ilmu dan upgrade pemahaman agar fikiran
yang jernih tetap berada pada garis kewarasan saat menghadapi anak-anak),
tentunya harus dapat berjuang menghadapi situasi model apapun (hohoho... tepuk
dada). Model-model drama bersama anak-anak ini ngalah-ngalahin rekayasa situasi
saat parenting deh pokoknya. Pertolongan pertama jika saya merasa batas
kejernihan hati sangat tipis adalah mengadu pada abu Atta (hiksss... ini masuk
teori parenting gak ya? #simpen ijazah).
“bi, ummi
bla....bla...bla...”, atau “faqih, bla...bla..bla...”, lalu “Atta nih,
bla...bla...bla...” bisa juga “hafizh itu, bla...bla...bla...” yang isinya
pengaduan penuh air mata (hiperbolis banget). Dengan pengaduan ini kemudian
meminta abu Atta memaklumi jika saya tidak dapat menyelesaikan beberapa tugas
pagi tepat pada waktunya (hahaha... ujung-ujungnya...#sungkem mertua).
Menghadapi anak-anak
penuh dengan situasi kala saya harus tak (harus) marah. Saat kakak Hafizh tak
sengaja menumpahkan air, atau dengan sengaja bermain remah-remah roti lengkap
beserta meisesnya. Ketika kakak Faqih enggan membantu mengangkat jemuran, atau
saat ia tak ingin berbagi. Lalu kala kakak Atta mengaduk-aduk lemari mainan
yang baru saja disusun rapi, atau kala ia merasa bosan belajar. Bukankah aneka
situasi tersebut adalah kala kita harus tak (harus) marah?. Menumpahkan air
bisa dimaklumi ketika koordinasi otot lengan dan jari jemarinya belum dapat
memegang gelas dengan sempurna. Remah roti dan meises yang lengket dan
bertaburan bisa jadi karena ia ingin membantu kita menyiapkan camilannya
sendiri. Kakak Faqih yang enggan membantu kali ini bisa jadi karena ia merasa
lelah setelah seharian di sekolah, pula dengan kakak Atta. So why dont we give ‘em
a break for one time?. (tutup muka).
Ada kalanya pula
ketidakharusan ini saya langgar, maka tentu penyesalan lah yang bermunculan. Layaknya
ordinary human, saya, ibu muda (haaa?, ini mah, bokis banget) tentulah masih
menghadapi ujian kontrol emosi. Perlu dukungan dan doa, utama dari suami
terkasih, bimbingan dari Rabb dan ingatan teladan Rosulullah dan sahabat dalam
memperlakukan anak-anak. Ah, rentetan mata kuliah perkembangan, pendidikan, tak
menjamin saat ini saya mampu mengaplikasikan teori-teori tersebut pada permata
hati. Maka upaya menuntut ilmu untuk terus memperbaiki diri adalah pe er
terbesar saya sebagai orang tua.
Semoga Allah
memudahkan kita semua dalam merangkai proses pendidikan anak-anak kita agar menjadi
generasi khairu ummah, pemimpin peradaban islam yang mulia. Aamiin
“Ya Rabb kami,
anugrahkanlah kepada kami, istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”
(QS. Al Furqon-25- : 74).
“Bukanlah dari
golongan kami orang yang tidak menyayangi yang masih kecil ...”. al.Hadist.
No comments:
Post a Comment