Tuesday 19 January 2016

Kala Harus Tak (Harus) Marah


Pukul 05.45 wita
Saya                       : “kakak Atta bangun, sholat subuh..”
Kakak Atta            : “aaahhhhh... sebentar lagi... masih ngantuk ma...”
Batin Saya         : (issshhhh.. giliran diminta tidur siang, susahnya minta ampun. Eeee.. giliran diminta bangun tidur, susahnya sama aja. Aaaarrrgggg.. tidakkk).

Pukul 06.00 wita
Ngecek ke kamar kembali dengan tangan “dingin” alias dibasahi air, berharap sejuknya bisa bikin kakak Atta bangun dalam sekejap.
Saya                       : “Ayo bangun, sudah jam 6” sambil mengusap muka nya dengan telapak tangan.
Kakak Atta      :“aaaaah... “ menjawab dengan seperempat hati sambil memasang wajah tak beraturan.
Batin Saya        : (Kem On boy, buruan banguuuun. Mama harus bla....bla...bla... Kenapa juga kemarin siang bla...bla..bla...).

Aaaarrrggghhh...apa daya, saya yang katanya lulusan jurusan yang mampu memahami proses kejiwaan ini entah beneran sudah lulus apa belum mata kuliah perkembangan. Jangan-jangan waktu itu enggak sibuk nyimak materi, tapi sibuk ngerumpi kanan kiri (hikss... #noted ya adik-adik calon ibu sekalian, jangan pernah ditiru. Menyesal kemudian, tak berarti).

Ini hanyalah scene take 1 di pagi hari moms.. Masih akan muncul take selanjutnya jika “adegan yang diharapkan” tak kunjung terlaksana. Bisa jadi muncul rentetan drama berbagai genre jika semua tidak berjalan “on the track”. For example, tetiba lil princess Hana (3,5 month) terbangun saat sedang memandikan kakak Hafizh (5 years), atau tetiba Hafizh hanya akan mau makan sarapannya jika saya yang menyuapi. Kemudian saat bad mood kakak Faqih muncul, atau pada saat... saat... saat.. dan segala jenis situasi yang bisa menjadi script drama haru biru di pagi hari. (eeeaaaa, fans nya drama korea niih).

Baiklah, saya yang telah ikut beberapa kali kelas parenting, aneka rupa grup media sosial parenting (demi untuk terus menambah ilmu dan upgrade pemahaman agar fikiran yang jernih tetap berada pada garis kewarasan saat menghadapi anak-anak), tentunya harus dapat berjuang menghadapi situasi model apapun (hohoho... tepuk dada). Model-model drama bersama anak-anak ini ngalah-ngalahin rekayasa situasi saat parenting deh pokoknya. Pertolongan pertama jika saya merasa batas kejernihan hati sangat tipis adalah mengadu pada abu Atta (hiksss... ini masuk teori parenting gak ya? #simpen ijazah).

“bi, ummi bla....bla...bla...”, atau “faqih, bla...bla..bla...”, lalu “Atta nih, bla...bla...bla...” bisa juga “hafizh itu, bla...bla...bla...” yang isinya pengaduan penuh air mata (hiperbolis banget). Dengan pengaduan ini kemudian meminta abu Atta memaklumi jika saya tidak dapat menyelesaikan beberapa tugas pagi tepat pada waktunya (hahaha... ujung-ujungnya...#sungkem mertua).

Menghadapi anak-anak penuh dengan situasi kala saya harus tak (harus) marah. Saat kakak Hafizh tak sengaja menumpahkan air, atau dengan sengaja bermain remah-remah roti lengkap beserta meisesnya. Ketika kakak Faqih enggan membantu mengangkat jemuran, atau saat ia tak ingin berbagi. Lalu kala kakak Atta mengaduk-aduk lemari mainan yang baru saja disusun rapi, atau kala ia merasa bosan belajar. Bukankah aneka situasi tersebut adalah kala kita harus tak (harus) marah?. Menumpahkan air bisa dimaklumi ketika koordinasi otot lengan dan jari jemarinya belum dapat memegang gelas dengan sempurna. Remah roti dan meises yang lengket dan bertaburan bisa jadi karena ia ingin membantu kita menyiapkan camilannya sendiri. Kakak Faqih yang enggan membantu kali ini bisa jadi karena ia merasa lelah setelah seharian di sekolah, pula dengan kakak Atta. So why dont we give ‘em a break for one time?. (tutup muka).

Ada kalanya pula ketidakharusan ini saya langgar, maka tentu penyesalan lah yang bermunculan. Layaknya ordinary human, saya, ibu muda (haaa?, ini mah, bokis banget) tentulah masih menghadapi ujian kontrol emosi. Perlu dukungan dan doa, utama dari suami terkasih, bimbingan dari Rabb dan ingatan teladan Rosulullah dan sahabat dalam memperlakukan anak-anak. Ah, rentetan mata kuliah perkembangan, pendidikan, tak menjamin saat ini saya mampu mengaplikasikan teori-teori tersebut pada permata hati. Maka upaya menuntut ilmu untuk terus memperbaiki diri adalah pe er terbesar saya sebagai orang tua.

Semoga Allah memudahkan kita semua dalam merangkai proses pendidikan anak-anak kita agar menjadi generasi khairu ummah, pemimpin peradaban islam yang mulia. Aamiin
“Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami, istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al Furqon-25- : 74).
“Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak menyayangi yang masih kecil ...”. al.Hadist.  



No comments:

Post a Comment

 

Template by BloggerCandy.com | Header Image by Freepik