Thursday 4 February 2016

Karena ibu rumah tangga pun, “bekerja” dirumahnya. Ibu bekerja, pun, tetaplah “ibu rumah tangga”nya.


Ahh, basi banget gak sih topik inih?.. Iya, sepertinya sudah terlewat hampir satu semester bahasan ini ada di beberapa ruang percakapan grup-grup di sosmed. Saya ingin tetap memiliki pandangan tentang hal ini saat ini, dan yang pasti setelah sekian lama, saya baru punya kesempatan berkencan dengan keyboard netbook saat ini (hihihi, alasan klasik emak rempong). Bagi saya topik ini tetap menarik walaupun tak lagi hangat, toh topik dapat dihangatkan kembali jika ada yang memicu kan? , sehingga kelak saya dapat membuka kembali file ini saat bahasan ini kembali menghangat. Who knows? Jika kelak saya memiliki titik pandang yang berbeda? ...


Sedikit mengganggu saya beberapa waktu yang lalu adalah munculnya beberapa meme di sosmed yang mewakili kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu rumah tangga. Rasanya ingin sekali menarik lengan mereka dan berkata “hei... plis mom, kita sama-sama wanita. Mengapa tidak saling menguatkan saja?, apa memang tabiat asal wanita ingin “bersaing” satu sama lain?” (hehe, jangan jadi bias gender ya mom, ini sekedar pendapat pribadi, karena yang saya lihat “persaingan” laki-laki tidak sekentara persaingan di kalangan wanita).

Betul, mengapa wanita tidak saling mendukung dan sibuk mencari dan mengungkapkan kelemahan wanita lain?. Kelompok ibu rumah tangga muncul dengan meme yang isinya kurang lebih mengatakan mengapa menitipkan barang berharga pada orang lain. Kelompok ibu bekerja muncul dengan meme yang kurang lebih berisi aktualisasi diri. Ahh, tidak kah kalian merasa ada sedikit perasaan perih saat wanita gang seberang yang melihat meme itu?.

Alhamdulillah, saya adalah ibu rumah tangga yang bekerja. Walaupun tidak bekerja formil sebagaimana wanita ditempat lain. Beruntungnya saya, Allah menetapkan saya bekerja di tempat kami sendiri sehingga memiliki waktu yang fleksibel. Pada awal merintis usaha saya dan suami berada di lokasi kerja hampir sepuluh hingga dua belas jam sehari. Ya, dengan membawa serta tiga jagoan. Saat itu yang paling kecil berusia kurang lebih tiga bulan.

Lima tahun berjalan, dalam seminggu, saya berada di lokasi kerja hanya dua belas jam, sisanya di lokasi kerja yang lain. Hehehe.. tidak juga, selebihnya mengurus rumah yang ternyata menyita banyak waktu. Tentu pilihan seorang ibu untuk bekerja atau tidak paling banyak di dasari latar belakang kondisi pendidikan dan ekonomi. Pada hari dimana kapitalisme berada di setiap lini kehidupan, tentu sulit , utama bagi kebanyakan wanita yang fitrahnya cenderung konsumtif (eh, hanya penilaian pribadi yah, dont feel judged moms ;) ).

Hari ini, bahkan ibu rumah tangga pun “bekerja” dengan nilai ekonomis dari rumahnya, dan jangan lupakan pula, ibu bekerja pun, ibu rumah tangga. Ya, iya, mereka yang bekerja tujuh jam sehari bahkan lebih selama lima hingga enam hari kerja juga ibu rumah tangga. Mereka berfikir keras bagaimana mengatur urusan rumah agar beres saat berangkat kerja. “Tapi kan banyak kekurangannya?”, mungkin ada yang berpendapat begitu. “Tentu, itu pasti”. Sebagian ibu bekerja mungkin sudah merasa sangat sedih ketika kehilangan banyak momen dalam keluarga, sedikit kurang mengenakkan jika kita menambah goresan dihati mereka dengan meme yang menghakimi kan?. Sebagian ibu rumah tangga bisa saja merasa kurang pede dan “menutupi” hal tersebut dengan anggapan “ibu rumah tangga lebih baik dari ibu bekerja”, baiknya tentu, wanita bekerja tak perlu pongah menunjukkan kelebihan finansial dan aktualisasinya dalam meme yang menoreh jiwa kan?.

Ahhh, bunda sekalian, menurut saya, marilah kita saling menguatkan, ibu bekerja yang luka, ibu rumah tangga yang pilu, kita wanita kan? Muslimah perindu syurga kan?. Masalah utamanya tak hanya ibu bekerja atau ibu rumah tangga, akarnya adalah atmosfir kehidupan kapitalis  saat ini yang merayu wanita untuk bekerja, atau mendorong wanita untuk bekerja, pun menarik paksa wanita dari rumahnya ke tempat kerja, kita tak pernah tahu apa yang benar-benar mendasari mereka yang bekerja kan?. Maka hindarilah berasumsi bahkan menghakimi.

Bagaimana jika momies ibu rumah tangga harus ke rumah sakit, tapi tak ada dokter perempuan, tak ada perawat perempuan, tak ada layanan publik yang diberikan oleh karyawan perempuan, rasanya tentu tak nyaman kan?. Kondisi hari ini pula yang menginginkan wanita meraih pendidikan tinggi “sekedar” untuk bekerja bagi orang lain, dibanding “bekerja” pada proyek utama dalam hidupnya, yakni rumah dan keluarganya. Sistem yang melingkupi kitalah yang meniupkan hal-hal itu, lupa kah kita, atau tak tahu kah kita saat berada dalam sistem pemerintahan yang rahmatan lil alamin, muslimah dapat mengaktualisasikan ilmunya, mengeluarkan segenap kemampuannya, tanpa sedikitpun di ekploitasi nilai ekonomi?.

As syifa binti Abdullah, hakim perempuan yang mengawasi kecurangan di pasar-pasar, beliaupun guru dan mengajari muslimah penegtahuan bidang kedokteran, beliau pun adalah perawi hadist. Mencela kah, saat itu muslimah lain pada as Syifa?. Rufayda al Aslamiyyah, perawat dan pekerja sosial yang tak jarang berada di “rumah sakit lapangan” saat peperangan. Apakah “penguasa” mengekploitasi kemampuannya kala itu?. Ahli matematika dan hukum Sutayta Al Mahamli dari baghdad, sekretaris khalifah, Labana dari Kordoba saat itu pun “bekerja”.


Partisipasi, aktualisasi dan peran nyata wanita begitu mulia bukan?, tidak berlatar tuntutan ekonomi, paksaan emansipasi, namun muncul dari dorongan keimanan untuk berbagi kemampuan dan berkhidmad pada pemimpin. So momies keceh dan ummahat sholihah seantero indonesia, mari tahan lah sikap, perbuatan dan perkataan yang bisa jadi menoreh luka. Karena ibu rumah tangga pun, “bekerja” dirumahnya. Ibu bekerja, pun, tetaplah “ibu rumah tangga”nya.

No comments:

Post a Comment

 

Template by BloggerCandy.com | Header Image by Freepik